Kasus ”SmackDown” dan Proses Pembelajaran Anak
Tentu
kita masih ingat beberapa tahun lalu tayangan “Smack Down” di salah
satu stasiun siaran televisi nasional menuai protes dari masyarakat.
Protes terhadap penayangan program “Smack Down” itu makin gencar
tersuarakan setelah saat itu jatuh korban tewas seorang siswa SD yang
disinyalir akibat pengaruh atau dampak negatif (baca: tak mendidik)
materi tayangan “Smack Down” yang sarat kekerasan.
Tulisan ini
tak hendak ikut menghujat atau memprotes tayangan “Smack Down” atau
tayangan-tayangan sejenis dan senada yang mungkin tak disadari masih
dapat kita saksikan melalui layar tv di rumah kita. Fenomena “Smack
Down” ini diangkat dalam tulisan ini karena menurut pendapat penulis
masih erat relevansi fenomena tersebut dengan persoalan pengajaran, atau
dalam konteks yang lebih luas, pendidikan kita saat ini. Kasus-kasus
kekerasan dengan pelaku masih anak-anak usia sekolah dengan mudah dapat
kita temui di media-massa. Agar lebih fokus lagi, tulisan ini ingin
membahas fenomena “Smack Down” dari perspektif pengajaran atau
pendidikan anak.
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari
tulisan ini adalah mengungkap atau memperkuat kembali pengetahuan kita
yang selama ini seringkali tak dicermati dan dilewati begitu saja
sebagai sesuatu yang tak penting yakni bahwa pengajaran dan pendidikan
anak yang berhasil memerlukan bimbingan orang tua. Penulis ingin
mengelaborasi bahwa ada bahaya yang terkandung dalam proses pembelajaran
yang bebas (sesuka hati pembelajar [anak]) ketika arahan/guidance dari
pihak yang otoritatif (baik dari sisi pengetahuan maupun nilai-nilai
moral, seperti guru atau orang tua) absen dari dan ketika proses
pembelajaran tersebut berlangsung.
Dalam mencapai tujuan itu,
penulis mengajukan permasalahan terkait dengan kasus fenomena “Smack
Down” dan proses belajar siswa atau anak sebagai pemirsa tayangan
tersebut. Permasalahan itu, pertama, bagaimana pendekatan teori
pembelajaran dan pengajaran dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena
“Smack Down” dan proses belajar perilaku agresif pada anak? Dan, kedua,
bagaimana peranan orang tua dalam memperkecil dampak buruk tayangan
“Smack Down” terhadap perilaku kekerasan siswa-siswi pemirsa?
Permasalahan tersebut akan dielaborasi jawabannya melalui studi pustaka
dan analisis penulis terkait dengan fenomena yang diamati.
KERANGKA BERPIKIR
Proses
pembelajaran dan pengajaran anak merupakan persoalan yang kompleks dan
sekaligus penting. Selain karena keberhasilan pembelajaran dan
pengajaran anak adalah idaman setiap orang tua, anak yang baik juga
adalah cikal bakal masyarakat masa depan yang baik pula.
Dalam
kerangka teori ini pembelajaran dan pengajaran anak akan ditekankan pada
proses belajar anak itu sendiri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
yang juga merupakan proses yang kompleks. Proses belajar anak itu
melibatkan banyak faktor baik dari aspek internal maupun aspek eksternal
anak (si pembelajar). Dalam pendekatan behavioris, proses belajar dapat
disamakan dengan proses perkembangan.
Salah satu teori
behavioristik yang menurut penulis dapat digunakan untuk mengamati dan
menjelaskan fenomena ”Smack Down” dan proses belajar perilaku agresif
pada anak adalah teori belajar sosial. Salah satu alasan teori ini
digunakan adalah karena kesesuaiannya untuk menjelaskan kasus fenomena
”Smack Down” dan proses belajar terhadap perilaku agresif pada anak. Hal
ini juga didukung oleh Margaret Delores Isom yang menjelaskan teori
dari Bandura seperti yang terurai dalam kutipan berikut ini:
The
social learning theory is the behavior theory most relevant to
criminology. Albert Bandura believed that aggression is learned through a
process called behavior modeling. He believed that individuals do not
actually inherit violent tendencies, but they modeled them after three
principles (Bandura, 1976: p.204). Albert Bandura argued that
individuals, especially children learn aggressive reponses from
observing others, either personally or through the media and
environment. He stated that many individuals believed that aggression
will produce reinforcements. These reinforcements can formulate into
reduction of tension, gaining financial rewards, or gaining the praise
of others, or building self-esteem (Siegel, 1992: p.171). In the Bobo
doll experiment, the children imitated the aggression of the adults
because of the rewarded gained. Albert Bandura was interested in child
development. If aggression was diagnosed early in children, Bandura
believe that children would reframe from being adult criminals. “Albert
Bandura argued that aggression in children is influenced by the
reinforcement of family members, the media, and the
environment”(Bandura, 1976: pp. 206-208).
Dalam kutipan
tersebut Albert Bandura meyakini bahwa perilaku agresi dipelajari
melalui suatu proses yang disebut perilaku “modeling” (peniruan perilaku
suatu tokoh). Dia tidak percaya bahwa seorang individu itu mewarisi
perilaku kekerasan. Albert Bandura menekankan bahwa individu, terlebih
anak-anak, mempelajari respon agresif dari menirukan dan mengamati
perilaku anggota keluarga, media, dan juga lingkungan. Hal itulah yang
menyebabkan terjadinya penguatan perilaku agresif pada anak.
Teori
belajar sosial ini dikembangkan lebih lanjut oleh Albert Bandura,
psikolog Amerika, dan Walter Mischel. Dalam teori belajar sosial ini
dipaparkan: pandangan para pakar psikologi yang menekankan perilaku,
lingkungan, dan kognisi sebagai faktor kunci dalam perkembangan.
Bandura meyakini bahwa seseorang atau anak belajar dengan mengamati apa
yang dilakukan oleh orang lain. Dengan melakukan pengamatan atau yang
disebut juga ”modeling” atau ”imitasi” seseorang (anak) secara kognitif
menampilkan perilaku orang lain dan kemudian mungkin akan mengadopsi
perilaku orang lain itu menjadi perilaku dirinya sendiri. Contohnya,
seorang anak laki-laki kecil mungkin melihat dan mencermati perilaku
amarah ayahnya yang agresif terhadap orang lain; ketika diamati anak
laki-laki itu dengan teman-teman sebayanya, gaya interaksi anak
laki-laki kecil tadi sangat agresif serta memperlihatkan karakteristik
yang sama seperti perilaku ayahnya.
PEMBAHASAN
Dengan
menggunakan kerangka berpikir sebagaimana diuraikan sebelumnya,
fenomena “Smack Down” dan proses belajar perilaku agresif pada anak
dapat dijelaskan sebagaimana berikut. Si anak yang masih dalam taraf
operasional konkret belajar langsung tentang “kekerasan” atau perilaku
agresif dengan mengamati dan mencermati perilaku-perilaku tokoh (model)
yang ada dalam tayangan “Smack Down”. Ia mempelajari segala hal tentang
apa yang dilakukan dan terjadi dalam tayangan ”Smack Down” dengan
menirukannya (melalui proses imitasi perilaku model) dan sekaligus
menerapkannya dalam bentuk permainan bersama teman-temannya.
Terkait dengan hal ini Aristoteles pernah menyatakan bahwa segala
sesuatu yang harus dipelajari sebelum kita melakukannya, maka hal itu
kita pelajari dulu dengan cara mengerjakannya. Kita belajar melalui
proses learning by doing. Si anak belajar tentang perilaku agresif
dengan juga mempraktekkannya secara langsung bersama kawan-kawannya
dengan cara yang tak terperhitungkan sebelumnya bahwa perilaku itu
membahayakan baik dirinya maupun teman-temannya.
Hal krusial
dalam kasus ini dan proses pengamatan ini adalah kesiapan mental si anak
dalam merefleksikan informasi apa pun terkait dengan tayangan ”Smack
Down” dan peran orang tua sebagai sumber informasi pembanding sekaligus
guidance bagi si anak. Kesiapan psikologis si anak yang masih relatif
sederhana belum memungkinkan adanya penyaringan dan pemilahan antara
yang benar-benar terjadi dan yang tidak benar-benar terjadi dalam
tayangan “Smack Down” tersebut.
Si anak belum mampu atau tidak
memiliki wawasan yang lebih luas untuk membedakan sebagian materi
tayangan “Smack Down” mana yang hanya bersifat dramatisasi suatu adegan
dan mana yang memang terjadi. Pada titik ini, peran
guidance/guru/orangtua yang memiliki otoritas menjadi penting dalam
proses pembelajaran yang benar terutama dalam memberikan informasi
pembanding atau pemerluas wawasan yang memungkinkan teredamnya dampak
yang buruk dan membahayakan. Dalam kasus ini adalah dampak buruk proses
peniruan perilaku agresif pada anak akibat proses modeling terhadap
tokoh-tokoh yang terlibat dalam tayangan sarat perilaku agresif, yakni
tayangan “Smack Down”.
Terlepas dari perdebatan soal apakah
tayangan ”Smack Down” atau tayangan yang bermuatan semacam (seperti film
laga) itu etis atau tidak, edukatif atau tidak, maka proses belajar
anak yang mengamati tayangan itu secara langsung dan bahkan melakukan
imitasi atas apa yang ditayangkan dengan melakukan gerakan dan perilaku
”smack down” menyiratkan telah terjadinya atau berlangsungnya proses
belajar yang efektif terhadap diri si anak (meskipun tidak bagus dari
sisi pendidikan karena menimbulkan korban tewas dan meningkatnya
perilaku agresif anak yang merusak). Tayangan “Smack Down” di satu sisi
telah berperan sebagai ‘Guru yang Agung,’ meminjam istilah yang
diciptakan oleh William A. Ward, karena ia telah menginspirasi si anak
yang menyaksikan tayangannya dengan berupaya menjadi seperti ‘jagoan’
sebagaimana yang ditayangkan.
Dalam konteks fenomena “Smack
Down” dan segala wacananya di masyarakat, secara umum, juga memberikan
pembelajaran kepada kita semua, dan terutama orang tua, agar lebih
waspada dalam ’membiarkan’ atau lebih halusnya mengizinkan si anak dalam
’mengonsumsi’ tayang-tayangan program televisi (dalam hal ini tayangan
”Smack Down”) yang mengandung perilaku agresif atau kekerasan. Sebagai
orang tua/guidance/guru/pengajar, minimal, memberikan bekal wawasan
kepada anak (didik)nya dan juga peka serta awas dan terlibat secara
sadar dalam proses pengajaran dan pendidikan yang lebih luas guna
mengantisipasi dampak negatif tayangan televisi di negeri kita.
KESIMPULAN
Pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
•
Proses belajar anak terhadap perilaku agresif terjadi melalui proses
modeling atau peniruan perilaku agresif tokoh yang ditayangkan dalam
tayangan ”Smack Down” atau tayangan sejenis. Proses belajar anak
terhadap agresivitas ini makin diperkuat ketika pengaruh orang tua/
guidance/ guru absen saat terjadinya proses belajar.
• Peran
orang tua/ guidance/ guru dalam ikut mempengaruhi dan memperluas
cakrawala wawasan dan pengetahuan anak merupakan hal yang krusial bagi
anak untuk dapat meredam perilaku agresif yang dipelajari melalui
modeling tayangan ”Smack Down” atau tayangan sejenis.
Sebagai penutup
bagian kesimpulan, penulis ingin menekankan bahwa belajar sendiri
ternyata mengandung bahaya yang besar terutama bila proses belajar itu
terjadi dan berlangsung melalui tayangan media televisi. Apalagi jika
proses belajar itu minim peran keterlibatan guru/guidance/orang tua
sebagai sumber informasi pendamping si pembelajar (anak).
DAFTAR PUSTAKA
Aristoteles dalam http://www.wilderdom.com/experiential/ diunduh pada tanggal 29 November 2006, jam 10.00 wib.
E-mail dari Erlangga@yahoogroups.com; on behalf of; Wisnu C. Kristiaji [kristiaji@yahoo.com]
John
W. Santrock, Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Edisi 5,
Terjemahan Achmad Chusairi, S.Psi. & Drs. Juda Damanik, M.S.W.,
Cetakan Ke-3, Penerbit Erlangga, 2006, hlm 45.
Koran Tempo, tanggal 29 November 2006, hlm. 8.
Majalah Tempo, Edisi 27 November - 3 Desember 2006, hlm. 8.
Margaret Delores Isom, http://www.criminology.fsu.edu/crimtheory/bandura.htm diunduh 30 November 2006, jam 10.35 wib)
Selasa, 31 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar